Kamis, 11 Juli 2013

MENGENAL SUKU BADUY

MENJELAJAH WISATA ALAM & BUDAYA 
KAMPUNG ADAT SUKU BADUY
LEBAK – BANTEN
“MENGENAL SUKU BADUY”



KETENTUAN ADAT DESA KANEKES BADUY :
01. Menghargai serta menghormati adat istiadat Baduy.
02. Mengisi buku tamu yang telah tersedia.
03. Tidak membawa radio / tape serta tidak membunyikannya selama berada di Baduy.
04. Tidak membawa gitar / memainkan gitar selama berada di Baduy.
05. Tidak membawa senapan angin dan sejenisnya.
06. Tidak menangkap / membunuh binatang yang di temui di perjalanan kecuali yang nyata membahayakan jiwa (Ular, Kalajengking Dll ).
07. Tidak membuang sampah sembarangan (terutama dari bahan kaleng dan plastik ).
08. Tidak membuang sampah / sejenisnya ke sungai.
09. Tidak membuang puntung rokok yang masih menyala.
10. Tidak meninggalkan api bekas masak / api unggun dalam keadaan menyala.
11. Tidak menebang pohon secara sembarangan.
12. Tidak mencabut / merusak tanaman sepanjang jalan yang di lalui.
13. Tidak membawa / mengkonsumsi minuman yang memabukkan.
14. Tidak membawa / mengkonsumsi obat-obatan terlarang ( NARKOBA).
15. Tidak melanggar norma susila.
16. Tidak menggunakan sabun dan odol jika mandi di sungai.
17. Melaksanakan ajaran / perintah agama serta tata tertib dengan tidak mencolok.
18. Bagi orang kulit putih (bukan bangsa Indonesia) dilarang memasuki daerah Baduy Dalam (Cibeo, Cikartawana, Cikeusik dan Hutan Larangan).
19. Selama berada di Baduy Dalam, dilarang, memotret, membuat film, membuat rekaman video dan membuat rekaman suara.
20. Pada bulan KAWALU menurut penanggalan Baduy selama tiga bulan berturut-turut Baduy Dalam tertutup untuk semua tamu.
21. Semua pengunjung / tamu tanpa terkecuali dilarang memasuki hutan larangan.
22. Semua pengunjung / tamu diwajibkan melaporkan diri pada pihak terkait/jaro      
      setempat.

TTD JARO DAINAH



1. LOKASI DAN LETAK GEOGRAFIS

Gerbang Masuk Menuju Baduy         

Apa yang terlintas di benak kita saat mendengar tentang "SUKU BADUY" mungkin yang terlintas sejenak dalam pikiran kita adalah penduduk primitif.....? untuk menjawab rasa penasaran itu saya memutuskan dan berkesempatan mengunjungi Pedalaman Baduy pada tanggal 7 – 9 September 2012. Perjalanan kali ini saya berangkat bersama dengan Komunitas Petualang Tanah Air (PETA), dengan 42 Peserta, 10 Panitia. Pukul 22.00 kami rombongan berangkat dari meeting point Lapangan Parkir Kalibata menggunakan kendaraan truk tronton sungguh menjadi suatu pengalaman yang tidak akan di lupakan, karena awalnya saya berpikir menggunakan transportasi bus. Setelah menempuh perjalanan selama ±  6 jam melewati jalanan yang cukup berliku dengan guncangan dan semilir angin dari luar maklum menggunakan truk tronton tentunya agak kurang nyaman, dan sempat sekali beristirahat sejenak di sebuah pompa bensin di daerah Serang, sekitar pukul 04.00 dini hari rombongan kami sampai di Desa Ciboleger dan beristirahat sejenak menunggu pagi  di rumah Pak Haji entah siapa namanya saya lupa.

Suku Baduy adalah salah satu etnis yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan posisi geografis dan administratif berada di sekitar Pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten yang dibatasi dan diapit secara administratif oleh 11 Desa dari 6 Kecamatan.



Adapun  Wilayah Administratif Masyarakat Baduy memiliki batas-batas Desa sebagai berikut: 
a. Sebelah Utara dibatasi oleh :
    1. Desa Bojongmenteng Kecamatan Leuwidamar.
    2. Desa Cisimeut Kecamatan Leuwidamar.
    3. Desa Nayagati Kecamatan Leuwidamar.

    b. Sebelah Barat dibatasi oleh :          
    1. Desa Parakan Besi Kecamatan Bojongmanik.
    2. Desa Kebon Cau Kecamatan Bojongmanik.
    3. Desa Karangnunggal Kecamatan Cirinten.

    c. Sebelah Selatan dibatasi oleh :        
1. Desa Cikate Kecamatan Cijaku.
2. Desa Mangunjaya Kecamatan Cijaku

d. Sebelah Timur dibatasi oleh :         
1. Desa Karangcombong Kecamatan Muncang.
2. Desa Hariang Kecamatan Sobang.
                                           3. Desa Cicalebang Kecamatan Sobang




Desa Kanekes berada di kawasan  Gunung Kendeng terletak di ketinggian berkisar antara 300 – 1200 M diatas permukaan laut dengan suhu berkisar antara 16 º C – 30 º C. Wilayah Baduy  berdasarkan lokasi geografinya terletak pada 60 27’ 27” – 60 30’ LU dan 1080 3’ 9” – 1060 4’ 55” BT. Kondisi alamnya yang berbukit-bukit, curah hujan cukup, kondisi jalan adalah jalan setapak berbelok-belok, turun naiknya sekitar 60º - 90º. Jarak dari kampung satu ke kampung yang lainnya cukup jauh dan harus ditempuh hanya dengan satu cara, yaitu JALAN KAKI.  Karena ini merupakan ketentuan HUKUM ADAT yang melarang tanah ulayat Adat Baduy dibangun secara modern termasuk dilalui kendaraan bermotor. Jarak dari Leuwidamar sebagai Ibu Kota Kecamatan ± 17 KM, dari Ibu Kota Rangkasbitung 40 KM, dari Serang ± 95 KM dan dari Ibu Kota Jakarta ± 150 KM.




Jalanan Yang Menanjak



Kawasan Baduy terdiri 58 Kampung yang berada dalam kesatuan Tatar Kenekes. Kesatuan Tatar Kenekes tersebut terbagi atas baduy luar (penamping) dan baduy dalam (tangtu). Dari ke 58 kampung tersebut, yang berada dalam daerah baduy dalam adalah : Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo. Sisanya masuk ke Baduy Luar. Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan, daerah ini memiliki luas wilayah sebesar 138 Ha. Wilayah-wilayah pemukiman baduy rata-rata terletak pada ketinggian 250 m diatas permukaan laut, dengan wilayah pemukiman di daerah yang cukup rendah 150 m diatas permukaan air laut dan pemukiman yang cukup tinggi pada ketinggian 400 m diatas permukaaan laut.




Alam Baduy Bila Musim Kemarau


Saya berkunjung disaat musim kemarau, yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya adalah bahwa untuk berkunjung ke Pedalam Baduy diperlukan sebuah perjuangan yang tidaklah mudah, kita tidak hanya siap secara fisik tetapi juga secara mental batin, untuk yang anak mama dan manja jangan pernah harap trip ke mari itu uda pasti nangis bombay minta pulang, karena untuk menuju kesana tidak ada akses kendaraan sama sekali, kita harus menempuh perjalanan sepanjang 14 KM untuk sampai ke Baduy Dalam dan harus rela banget plus ikhlas jalan kaki.





Kami rombongan PETA berangkat dari Kampung ciboleger sekitar pukul 10.00 wib berjalan menuju Kampung Baduy Dalam tepatnya Kampung Cibeo. Sekitar ± pukul 16.00 wib  semua rombongan sampai di Kampung Cibeo. Dengan menempuh perjalanan untuk sampai ke Kampung Cibeo menempuh jarak ± 14 KM dengan rute mendaki dan menuruni beberapa bukit, melewati beberapa jembatan, semak belukar, hutan yang lumayan lebat, dengan pemandangan alamnya yang sangat luar bisa masih terjaga dengan pohon bambu yang menjulang cukup tinggi dan berdaun rimbun yang belum pernah saya lihat sebelumnya, selama dalam perjalanan kita akan terbawa ke suatu tempat terpencil nan damai, terlingkupi dengan rerimbunan pepohonan nan menghijau, suara khas alam, gemerisik angin di sela-sela rumpun bambu, cicit burung yang nyaring nan merdu dan sesekali kita akan berpapasan dengan beberapa orang Baduy yang sedang berladang maupun berjalan. 





Jika kita bertemu dengan Baduy yang sedang berladang jika sudah merasa letih jangan sungkan untuk berteduh mereka akan menyambut kita dengan hangat dan ramah, bertanyalah tentang banyak hal yang ingin kita tahu tentang mereka tentunya dengan bahasa yang santun dan sopan.












Sebelum rombongan kami berangkat, kami dibantu oleh beberapa Jasa Porter dari warga Baduy Dalam yang masing-masing bernama Naldi, Juli, Juli Sodah, Baim (Sapri), Sarmin,   Suwardi, Katok, Aldi, Sangsang dan Yardi.


Dalam tata administrasi Kabupaten Lebak terdapat 58 nama-nama kampung sebagai  berikut :

1.  Kaduketug 1                         30. Cicakalmuara
2.  Kaduketug 2                         31. Cicakal Tarikolot
3.  Cipondok                              32. Cipaler 1
4.  Kadukaso                              33. Cipaler 2
5.  Cihulu                                  34. Cicakal Girang 1
6.  Marengo                               35. Babakan Cicakal Girang
7.  Balingbing                            36. Cicakal Girang 2
8.  Gajeboh                               37. Cipiit Lebak
9.  Cigula                                   38. Cipiit Tonggoh
10. Kadujangkung                     39. Cikadi Cinangsi
11. Karahkal                              40. Cikadu 1
12. Kadugede                            41. Cijangkar
13. Kaduketer 1                         42. Cijengkol
14. Kaduketer 2                         43. Cilingsuh
15. Cicatang 1                           44. Cisagu 1
16. Cicatang 2                           45. Cisagu 2
17. Cikopeng                             46. Babakan Eurih
18. Cibongkok                           47. Cijanar
19. Sorokokod                           48. Cibeo
20. Ciwaringin                           49. Cikeusik
21. Cibitung                              50. Cikartawana
22. Batara                                 51. Ciranji
23. Panyerangan                       52. Cikulingseng
24. Cisaban 1                            53. Cicangkudu
25. Cisaban 2                            54. Cibagelut
26. Leuwihandam                     55. Cisadane
27. Kadukohak                          56. Batubeuah
28. Cirancakondang                  57. Cibogo
29. Kaneungai                           58. Pamoean



Menjelajahi Pedalaman Baduy kita akan melewati sungai-sungai baik kecil maupun lebar, antara lain Sungai Ciujung di Kampung Gajeboh dan Sungai Cicakal. Kita akan menemui jembatan berkontruksi bahan alamai dari bambu yang diikat dengan tali ijuk, rotan atau bambu, dan sudah terbukti kekuatannya.




 



2. DALAM PERJALANAN


Batik Baduy Ciri Khas Warna Biru


Disepanjang perjalanan menuju Kampung Cibeo Baduy Dalam kita akan menjumpai beberapa penduduk Baduy Luar khususnya dikerjakan oleh kaum wanita yang membuat tenunan khas setempat, ragam dan coraknya berfariatif dengan berbagai ukuran, ada kain sarung, syal dengan beberapa motif dan ukuran serta batik baduy. Dengan membeli hasil tenunan dari mereka berarti kita turut serta membantu perekonomian mereka dan melestarikan salah satu hasil kekayaan bangsa kita sekaligus berbangga diri dengan menggunakan produk dalam negeri, karena hasil tenunan mereka berkwalitas bagus kagak ada barang kw di sini.






 Wanita Baduy Ketika Menenun        
          
                  
Disepanjang perjalanan menuju Kampung Cibeo Baduy Dalam kita akan menjumpai beberapa penduduk Baduy Luar khususnya dikerjakan oleh kaum wanita yang membuat tenunan khas setempat, ragam dan coraknya berfariatif dengan berbagai ukuran, ada kain sarung, syal dengan beberapa motif dan ukuran serta batik baduy. Dengan membeli hasil tenunan dari mereka berarti kita turut serta membantu perekonomian mereka dan melestarikan salah satu hasil kekayaan bangsa kita sekaligus berbangga diri dengan menggunakan produk dalam negeri, karena hasil tenunan mereka berkwalitas bagus kagak ada barang kw di sini.




Nenek ini saya jumpai ketika dalam perjalanan pulang dari Baduy Dalam, beliau sudah tidak dapat mendengar dengan baik.



3. SEJARAH ASAL-USUL ORANG BADUY


                             

Baduy adalah sebutan yang melekat pada orang-orang yang tinggal di sekitar kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Lauwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, dengan ciri-ciri yang khas dan unik dibanding dengan orang-orang yang ada disekitar mereka, demikian pula dengan orang-orang yang tinggal di daerah Banten pada umumnya. Keunikan yang mereka miliki adalah terlihat dengan jelas dalam tata cara berpakaian, keseragaman bentuk rumah, penggunaan bahasa, kepercayan dan adat istiadat.       

                                                                                      

  


Sebutan lain untuk  "Baduy"  yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Mereka juga beranggapan bahwa suku Baduy merupakan peradaban masyarakat yang pertama kali ada di dunia Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).






                   
PSebutan lain untuk  "Baduy"  yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Mereka juga beranggapan bahwa suku Baduy merupakan peradaban masyarakat yang pertama kali ada di dunia Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).






Itu mengapa orang Baduy khususnya Baduy Dalam sangat konsen menjaga alamnya, karena mereka mengandalkan hidup dari alam, begitu cintanya kepada alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, mereka mandi  tidak menggunakan sabun, sampo, odol dan sejenisnya yang menggunakan zat-zat kimia. Mereka amat sangat sadar bahwa mereka mengandalkan hidup dari alam sehingga mereka harus menjaga alam yang ada di sekitar mereka jangan sampai tercemar, rusak bahkan punah.


Adat, budaya dan tradisi yang hidup di Baduy mudah dilihat dari 3 hal yang mewarnai kehidupan mereka, yaitu : sikap hidup sederhana, bersahabat dengan alam dan semangat dalam kemandirian. Kesederhanaan adalah titik pesona yang melekat pada identitas Suku Baduy hingga saat ini, masyarakat Baduy berusaha tetap bertahan pada kederhanaan di tengah kuatnya arus modernisasi di segala bidang, bagi mereka kesederhanaan bukanlah kekurangan atau ketidak mampuan, tetapi sudah menjadi bagian dari kehidupan yang tak terpisahkan itulah arti kebahagiaan hidup bagi mereka. Ukuran kesejahteraan bukanlah dengan cara hidup di luar adat mereka.







Lingkungan tempat tinggal mereka tidak dijangkau oleh transportasi modern, dan terpencil di tengah-tengah bentang alam pegunungan, perbukitan rimbun serta hutan, lengkap dengan sungai dan anak sungai, juga hamparan kebun dan tanah ladang dan Danau Dandang adalah satu-satunya danau yang terdapat di Baduy.

Andai kita sebagai warga masyarakat yang hidup dan tinggal di kota-kota besar mempunyai sedikit saja keperdulian akan alam dan dapat menjaganya seperti mereka, pasti yang namanya bencana alam banjir, tanah longsor, rob air laut dsb tidak terjadi di sebagian besar negeri ini.
  




Masyarakat Baduy adalah sosok masyarakat yang dari waktu ke waktu, generasi ke generasi hidup penuh dengan kesederhanaan, ketaatan, keikhlasan, kukuh pengkuh dalam mempertahankan dan melaksanakan tradisi serta amanat leluhurnya. Mereka sangat menyatu demi tetap tegaknya dan berdirinya kesukuan mereka, maka adat istiadat dan pusaka leluhur harus terus dijaga dan diletarikan dengan diwariskan secara terus-menerus kepada anak cucunya secara tegas dan mengikat.






Dengan kearifan, kebijaksanaan dan penglihatan batin yang tajam jauh ke depan, para leluhur dan tokoh adat Baduy sudah dapat memperkirakan bahwa tidak mungkin seluruh anak cucunya mampu mempertahankan amanat leluhurnya secara murni dan konsekuen. Mereka menyadari bahwa ketaatan dan keikhlasan manusia tidaklah sama, sehingga pewarisan budaya kepada anak cucunya pun tidak sama. Lahirnya kelompok pewaris yang disebut Baduy Dalam dan Pewaris yang disebut Baduy Luar. Kedua Kelompok Pewaris ini memiliki ciri-ciri spesifik tertentu dalam melaksanakan amanat leluhurnya karena sejak awal sudah dibuat alur masing-masing yang sangat jelas dan tegas dengan perangkat hukum adat yang jelas pula. Inilah yang kemuadian menjadikan mereka sebagai satu kesukuan yang unik.



4.  BADUY DALAM DAN BADUY LUAR

Baduy Dalam

Dapat dikatakan representasi dari masyarakat Baduy masa lalu yang mendekati pada pewaris asli budaya dan amanat leluhur kesukuan mereka. Istilah pewaris asli hanya menunjuk pada tingkat ketaan dan kesadaran komunitas mereka dalam mempertahankan adat istiadatnya dan kekonsistenan menutup dirinya dari pengaruh-pengaruh kebudayaan asing yang dianggap negatif. Dengan adanya penetapan secara khusus wilayah Perkampungan Baduy Dalam yang hanya berlokasi di 3 kampung, yaitu : Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik dengan batasan hukum yang tetap, tegas, serta mengikat ke dalam semua pihak dan ke dalam aspek kehidupannya.

  
Suku Baduy Dalam 


Masyarakat Baduy Dalam dengan segala ketaatan, kepatuhan serta keikhlasan untuk selalu menunaikan amanat leluhur serta berani menerima konsekuensi atas pilihan hidupnya adalah salah satu contoh potret kehidupan masyarakat yang kehidupan kesehariannya dilandasi oleh kesadaran, keteguhan dan kejujuran atas keyakinan yang mereka yakini kebenarannya.

Anak Suku Baduy Dalam 


Baduy Dalam tidak diperbolehkan memiliki atau menyimpan benda modern apapun yang ditabukan oleh aturan adat. Warga Baduy Dalam tidak diperbolehkan naik atau mengendari kendaraan bermotor, kemanapun pergi harus berjalan kaki berapapun jauhnya jarak, tidak diperbolehkan mandi  atau mencuci mempergunakan sabun, shampo dan pasta gigi serta tidak diperbolehkan merokok, hal ini mereka lakukan hanya dengan satu alasan yakni aturan adat mereka yang telah mengariskan demikian secara turun temurun.



Generasi Muda Suku Baduy Dalam


Perbedaan yang tampak dari Baduy Dalam adalah ditengarai dengan busana yang dikenakan, kaum pria menggunakan ikat kepala putih, baju pangsi putih, terbuat dari bahan tenun kasar, bawahannya semacam kain tenun lurik berwarna hitam yang dililitkan seperti sarung setinggi lutut. Bila bepergian melengkapi diri dengan tas kantong kain warna putih dan selalu membawa golok, dan yang pasti kemanapun mereka pergi tidak boleh menggunakan alas kaki.






Jika kita berkunjung ke Baduy Dalam ada baiknya mengikuti tata aturan yang telah ada dengan tidak menyalakan peralatan komunikasi apapun, mengambil foto, bertutur kata yang tidak senonoh, tidak membuang sampah, bersikap tidak sopan, bertanyalah pada Suku Baduy yang menemani anda sepanjang perjalanan apa yang boleh dan tidak untuk dilakukan.





Baduy Luar

Komunitas Baduy Luar lebih di persiapkan kepada penjaga, penyangga, penyaring, pelindung dan sekaligus penyambung silahturahmi yang intensif dengan pihak luar sebagai bentuk penghargaan, kerja sama, dan partisipasi aktif dalam kegiatan kenegaraan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah salah satu suku bangsa yang sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya.


   Suku Baduy Luar 

Baduy Luar adalah satu contoh dan potret nyata masyarakat yang setia sebagai saudara untuk selalu menjaga, melindungi, serta membantu berbagai kebutuhan, harapan dan permasalahan Baduy Dalam walaupun mereka memiliki perbedaan dalam arti kebebasan atau keringanan pelaksanaan hukum adat dalam bentuk kegiatan gotong royong dan/atau dalam bentuk musyawarah di lembaga adat. Walaupun keterbukaan mereka lebih longgar dari Baduy Dalam, tetapi tetap terbatas dalam aturan-aturan adat yang tidak boleh dilanggar.


Anak-anak Suku Baduy Luar 

Warga Baduy Luar lebih dinamis dalam bepergian, mereka boleh menggunakan kendaraan umum dengan demikian jangkauan hidup pergaluan mereka juga lebih luas. Busana adat yang mereka kenakan sehari-hari dominan pada warna hitam dengan ikat kepala biru tua bermotif batik, baju komprang dan celana selutut, boleh menggunakan kemeja, kaos bahkan celana jins. Kebalikan dari Baduy Dalam mereka kaun Baduy luar boleh mandi mengunakan sabun, sampo, odol dan merokok, bahkan mereka boleh memiliki dan menggunakan alat-alat elektronik, seperti TV, radio, juga HP.walaupun begitu Warga Baduy Luar tetap bersikap waspada untuk tetap melewati batasan aturan adat yang mereka pegang dan hormati.

Baik Baduy Dalam dan Baduy Luar sangat memegang teguh suatu doktrin yang mewajibkan mereka melakukan berbagai hal sebagai amanat leluhurnya terdahulu, antara lain :
    1. Bertapa bagi kesejahteraan dan keselamatan pusat dunia dan alam   
        semesta.
    2. Memelihara sasaka Pusaka Buana.
    3. Mengasu Ratu memelihara Menak.
    4. Menghormati Guriang dan melaksanakan Muja.
    5. Melakukan Seba setahun sekali.
    6. Menyelenggarakan dan menghormati Upacara Adat Ngalaksa.
    7. Mempertahankan dan menjaga Adat Bulan kawalu.


  Adapun persamaan mendasar yang tetep mereka pegang teguh antara Baduy Dalam dan Baduy Luar adalah berupaya mempertahankan falsafah hidup dalam kesederhanaan, menjaga dan memelihara hidup dengan harmony dalam bingkai keseimbangan bersama alam dan lingkungannya yang sudah ada sejak jaman leluhur mereka.




4.  RUMAH ADAT SUKU BADUY

    
RUMAH BADUY LUAR
 Yang akan terlihat dari kontrusksi bangunan rumah semuanya serba alami dengan memanfaatkan bahan-bahan alam yang ada disekitar mereka, kayu untuk tiang dan kerangka utamanya, bambu untuk tali, lantai dan dindingnya, ijuk dan daun kiray untuk bahan atap, paku, engsel dan slot kunci menggunakan bahan pabrikan yang sederhana, untuk rumah bagi Suku Baduy Luar boleh mempergunakan material pabrik dengan terbatas dan sesuai peraturan adat.

 
Ciri Rumah Adat Suku Baduy Luar yang letak dan penataannya dalam harmony keseragaman yang sama, mereka hidup sangat rukun berdampingan dalam kesederhanaan yang sangat bersahaja.





Dalam membuat rumah Suku Baduy Luar boleh memiliki lebih dari satu pintu dan jendela, tetapi tidak boleh mempergunakan kaca. Bilik yang dipergunakan boleh memakai motif atau corak, boleh memiliki kamar tidur lebih dari satu, boleh mempergunakan variasi seni sesuai dengan keinginan dan kemampuan, tidak memiliki Balai Adat, serta boleh menempatkan posisi rumah yang penting rapi sesuai dengan arah utara-selatan.




RUMAH BADUY DALAM



Rumah Adat Suku Baduy Dalam, gambar ini adalah ilustrasi yang saya ambil dari sebuah buku karya ERWINANTU, karena di Baduy Dalam tidak diperbolehkan mengambil foto.







Dalam membangun rumahnya Suku Baduy Dalam tidak boleh merubah kontur atau kondisi tanah yang ada harus dibiarkan sesuai dengan aslinya. Dalam pembuatan rumah tidak boleh mempergunakan paku dan peralatan modern, hanya boleh mempergunakan pasak dan tali bambu/rotan, hanya boleh memiliki satu pintu dan tidak boleh berjendela, bentuk biliknya sederhana tidak boleh bercorak, lantainya hanya boleh mempergunakan bambu/talupuh (amben), disetiap kampung memiliki bangunan yang disebut Balai Adat, posisi rumah tidak boleh menghalangi antara rumah Puun dengan Balai Adat.



Gambar ilustrasi diambil dari karya ERWINANTU : Suku Baduy Dalam terbuka dalam menerima tamu/wisatawan (asal bukan orang asing/WNA), tetapi hanya boleh menginap 1 malam saja sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku.

Rumah Adat Suku Baduy Dalam merupakan jenis rumah panggung berbentuk segi emapat, rumah ini sangat unik karena hanya memiliki satu pintu dan selalu menghadap utara – selatan. Tungku api tempat memasak berada di dalam rumah, pintu dan lantai rumah terbuat dari bambu yang dibelah, bentuknya seragam, berdinding anyaman bambu dan beratap rumbia, tinggi lantai rumah pada medan datar sekitar 80 – 100 sentimeter dari permukaan tanah, semua bahan pembuatan rumah harus mempergunakan bahan alami yang tersedia di sekitarnya, pembagian ruangan juga amat sederhana hanya ada 2 ruang, satu ruang adalah kamar keluarga, satu ruang lagi ruang serbaguna berbentuk L yang disebut tepas, setelah mendirikan rumah mereka mengadakan syukuran sebagai ungkapan rasa terimakasih kepda Yang Maha Kuasa.



5. LEUIT
         
Istilah Leuit atau lumbung padi ini agak menarik adalah penempatan leuit, karena letaknya agak berjauhan dari rumah tinggal Para Suku Baduy. Masyarakat Baduy adalah msyarakat yang menganut pola hidup sederhana yang secara mandiri berusaha memenuhi segala kebutuhan hidupnya secara mandiri dari alam sekitar mereka. 




Kebutuhan pangan mereka penuhi dengan 2 cara, pertama adalah dengan menanam padi di ladang setahun sekali, tetapi hasilnya tidak dijual belikan, tetapi di simpan di dalam leuit masing-masing. Ada yang unik dari Suku Baduy dalam berprinsip selama mereka masih memiliki uang, mereka akan membeli beras dari luar meski mereka juga menghasilkan padi sendiri. Padi yang mereka hasilkan hanya disimpan di dalam lumbung/leuit, dan baru akan dikomsumsi apabila saat upacara adat atau jika memang bener-benar dibutuhkankan sebagai cadangan atau persiapan bila suatu saat terjadi bencana alam yang mengakibatkan kekurangan pangan.Kedua dengan cara mereka berusaha sekuat tenaga memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan, membeli beras dan kebutuhan hidup lainnya dari para pedagang di sekitar pemukiman mereka.



6.  MATA PENCAHARIAN SUKU BADUY


Masyarakat Baduy termasuk masyarakat yang produktif dalam arti kata mereka memanfaatkan waktu dengan menghasilkan kegiatan yang bermanfaat, di saat waktu senggang tatkala mereka tidak pergi ke ladang mereka menenun berbagai jenis pakaian khas Baduy, misalnya : selendang, sarung, pakaian adat bagi para perempuan. Sedangkan kaum prianya biasanya memanfaatkan waktunya dengan membuat kerajinan anyaman membuat koja, jarong, tas pingang, topi, dsb yang terbuat dari kulit pohon teureup serta bentuk-bentuk kerajinan lainnya sebagai cinderamata khas Baduy.








Dari hasil ladang Suku Baduy  menghasilkan pisangtai dan durian (bila sedang musim hasilnya berlimpah). Biasanya hasil penjualan dari ladang mereka belikan beras, minyak, garam ikan asin dan rokok.


Kehidupan masyarakat Baduy umumnya adalah bertani. Pola pertanian masyarakat Baduy menggunakan Sistem perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah dipraktekkan selama berabad-abad dan merupakan bentuk pertanian yang paling awal di wilayah tropika dan subtropika. Sistem pertanian dilakukan adalah tanaman pangan dalam waktu dekat (pada umumnya 2 – 3 tahun) dan kemudian diikuti dengan fase regenerasi atau masa berat  yang lebih lama (pada umumnya 10 – 20 tahun).



Pembukaan hutan biasanya menggunakan alat sederhana, dilakukan secara tradisional, dan menggunakan cara tebang bakar (Nair, 1993). Secara tradisional masyarakat Baduy membedakan enam jenis perladangan atau huma berdasarkan fungsi, pemilikan, dan proses mengerjakannya (Garna, 1993). Keenam huma tersebut adalah :

    1. Huma serang, yaitu ladang yang dianggap suci yang ada di wilayah 
       Baduy dalam,yang hasilnya digunakan untuk kepentingan upacara adat.
    2. Huma puun, yaitu ladang khusus milik puun di Baduy dalam.
    3. Huma tangtu, ladang yang digarap warga Baduy dalam.
   4. Huma tuladan, ladang komunal di Baduy luar yang hasilnya untuk             keperluan desa.
    5. Huma panamping, ladang warga masyarakat Baduy luar.
   6. Huma urang baduy, yaitu ladang di luar wilayah baduy yang dikerjakan    orang Baduy luar dan hasilnya diambil untuk kepentingan keluarga            masing-masing.






Seni pahat, seni ukir ataupun seni lukis tidak akan dijumpai di kawasan Baduy. Hal tersebut dikarenakan memang mereka tidak mengenalnya. Di Baduy unsur kesenian dan kerajinan masih bertaraf sederhana seperti halnya kehidupan mereka sehari-hari. Adapun kesenian yang dikenal oleh orang Baduy antara lain :
- Angklung
- Kecapi
- Rendo


7. SISTEM KEPERCAYAAN DAN RELIGI

Masyarakat Baduy menyakini alam semesta ini diciptakan dan dipelihara oleh kekuasaan Tuhan maha Pencipta yang mereka sebut Adam Tunggal. Adapun keberadaan Suku baduy yang menamakan dirinya sebagai kelompok masyarakat pemelihara keseimbangan alam (wiwitan) dengan Pikukuh Karuhun (dokrin) Ngasuh Ratu Nyayak Menak, Ngabaratapakeun Ngabaratanghikeun Wiwitan.


Hampir seluruh perjalanan dan kegiatan ritual adat Suku Baduy pada pelaksanaannya ternyata harus mengarah ke satu arah yang dianggap sebagai suatu daerah atau kawasan yang disucikan/dikeramatkan, dan arah tersebut dianggap sebuah arah yang sakral untuk diistimewakan sebagai bentuk penghormatan terhadap kepastian amanat leluhurnya. Bagi masyarakat Baduy arah Selatan adalah suatu arah yang harus mereka hormati dan diyakini sebagai kiblat. Tingginya keyakeka terhadap kiblat ditunjukkan dengan lahirnya suatu keputusan adat (sebuah wasiat) yang jelas, tegas serta mengikat ke seluruh masyarakat keturunan mereka dan dunia luar bahwa di kawasan sekitar hutan tutupan (leuweung kolot) di hulu Sungai Ciujung di Gunung Pamuntuan dinyatakan sebagai kawasan terlarang untuk dikunjungi atau dipergunakan sebagai pemukiman. Kawasan tersebut dintakan sebagai Intinya Jagad yang mereka namakan Sasaka Domas, sebuah kawasan atau hamparan tanah yang diyakini kesuciannya.






     Mulanya Orang Baduy memuja lelembut. Yang dimaksud Lelembut adalah roh halus atau roh gaib yang dianggap sebagai nenek moyang pemberi hidup dan mati. Roh itu adalah yang menjiwai segala-galanya. Sebagai pemegang kekuasaan tunggal yang disebut Batara Tunggal. Tempat kediaman lelembut adalah didekat mata air Ciujung dan Cisemet. Tempat keramat ini sangat dipuja dan dinamakan Arca Domas. Tempat pemujaan ini hingga sekarang sangat terlarang untuk orang luar. Kini Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan sunda wiwitan. Sunda Wiwitan sebagai “Agama Adat” adalah penamaan bagi keyakinan atau sistem keyakinan “masyarakat keturunan Sunda”. Meski penamaan itu tidak muncul oleh komunitas penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian istilah itu dilekatkan pada beberapa komunitas dan individu Sunda yang secara kukuh mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda.


    





Sunda wiwitan meyakini akan adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari, langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak mengunakan listrik, tembok, mobil dll. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan sunda wiwitan :

1.Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa, Karo, dan Katiga.
2. Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas  terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang sering disebut lebaran.
3. Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan dari masyarakat baduy.
4. Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambang kemakmuran.
5. Kelahiran yang dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu:
     - Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
     - saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untuk dijampi-      jampi.
      - setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan       atau selamatan.
    - Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
    - Akikah yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama    
       oleh dukun






8. SISTEM PEMERINTAHAN

Pada masyarakat Baduy ini dikenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan nasional dan sistem tradisional (adat). Dalam pamarentahan Baduy baik seisten nasional maupun sistem tradisional memiliki pejabat dengan sebutan sendiri-sendiri :

1. Pemerintahan Nasional

Jaro Pamarentah adalah kepala desa Kenekes. Lingkup kerjanya sama halnya dengan kepala desa lainnya di Indonesia, ia berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional. Pengangkatan Jaro Pamarentah ini harus disetujui oleh kedua belah pihak antara para puun maupun pemerintah daerah. Jaro pamarentah dibantu oleh paling tidak tiga orang pembantu utama, yaitu carik adalah juru tulis desa yang selalu berasal dari luar Kanekes, dan dua orang pangiwa, pembantu jaro pamarentah yang berasal dari panamping.





2. Pemerintahan Tradisional

Ada 3 kelompok kekerabatan dalam kesatuan, yaitu tangtu Cikeusik, tangtu Cikartawana dan tangtu Cibeo. Adapun hirarki kekerabatan itu sesuai dengan urutan dari yang paling tua ke yang paling muda, yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Dari ketiganya masing-masing memiliki Puun, yaitu pemimpin tertinggi yang memiliki kekuasaan dan kewibawaan yang sangat besar, sehingga para pemimpin yang ada di bawahnya dan warga masyarakat Baduy tunduk dan patuh kepadanya. Mereka bertugas untuk mengatasi semua aspek kehidupan di dunia dan mempunyai hubungan dengan karuhun. Dalam kesatuan puun tersebut senioritas ditentukan berdasarkan alur kerabat bagi peranan tertentu dalam pelaksanaan adat dan keagamaan Sunda Wiwitan. Dalam menjalankan aktivitasnya dibantu oleh sejumlah pejabat adat dan agama. 

a. Jaro

Dalam pamarentahan Baduy, istilah jaro banyak digunakan. Arti kata jaro sendiri adalah ketua kelompok atau pemimpin. Pemimpin tangtu adalah jaro tangtu. Ia bertugas sebagai kokolotan lembur dan sekaligus pula bertindak sebagai kokolot lembur. Selain itu, ia pun harus turut serta seba ke ibukota kabupaten di Rangkasbitung dan keresiden Banten yang kini menjadi Gubernur di Serang. Jaro tangtu diangkat menurut alur keturunan dari para jaro terdahulu, yang disiapkan oleh pikukuh langsung di bawah tangkesan dan pengawasan puun. Apabila calon jaro tangtu dianggap siap, walaupun ia masih muda, ia dapat diangkat. Pada tingkat panamping terdapat seorang jaro yang tidak hanya mengurus dan mengatur seluruh jaro, tetapi juga berkuasa mutlak sebagai pengawas serta pelaksana tertinggi pikukuh di panamping. Dari keduabelas jaro, yaitu tiga jaro tangtu, tujuh orang jaro dangka, seorang jaro warega, dan seorang jaro pamarentah, maka ia adalah koordinator kerja para jaro yang dalam pamarentahan Baduy dikenal dengan sebutan jaro duawelasJaro warega berperan dalam upacara keagamaan, terutama untuk persiapan dan pelaksanaan seba, tetapi pada posisi pimpinan dalam Sunda Wiwitan, ia adalah pembantu utama tanggungan jaro duawelas.

b. Girang Seurat

Girang seurat atau kadang disebut seurat merupakan jabatan tertinggi kedua setelah puun yang melaksanakan tugas sebagai “sekertaris” puun atau pemangku adat, juga bertugas mengurus huma serang “ladang bersama” dan menjadi penghubung dan pembantu utama puun. setiap orang yang ingin menghadap atau bertemu puun harus melalui girang seurat. tamu dari luar lebih dihadapi oleh girang seurat yang mewakili puun. sebagai pembantu puun, girang seurat hanya ada di tangtu Cikeusik dan Cibeo, sedangkan di Cikertawana tugas yang sama dipegang oleh kokolot “tetua kampung”.

c. Baresan

Baresan adalah semacam petugas keamanan kampung yang bertugas dan bertanggungjawab dalam bidang keamanan dan ketertiban. mereka termasuk dalam anggota sidang kapuunan atau semacam majelis yang beranggotakan sebelas orang di Cikeusik, sembilan orang di Cibeo dan lima orang di Cikertawana. mereka juga dapat menggantikan puun menerima tamu yang akan menginap dan dalam berbagai upacara adat.

d. Palawari

Palawari merupakan kelompok khusus – semacam panitia tetap – yang bertugas sebagai pembantu, pesuruh dan perantara dalam berbagai kegiatan upacara adat. mereka mendapat tugas dari tangkesan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan persiapan dan pelaksanaan suatu upacara adat, yakni menyediakan makanan untuk semua petugas dan warga yang terlibat dalam upacara tersebut.

e. Tangkesan

Tangkesan merupakan ”menteri kesehatan” atau dukun kepala dan sebagai atasan dari semua dukun yang ada di baduy. Ia juga merupakan juru ramal bagi segala aspek kehidupan orang baduy. Ia terlibat dalam penentuan orang yang pantas menjadi puun. ia juga orang yang memberi restu pada orang yang ingin menjadi dukun. Oleh karena itu, orang yang menjabat sebagai tangkesan harus cendikia dan menguasai ilmu obat-obatan dan mantera-mantera. sekalipun tangkesan dapat memberikan nasihat dan menjadi tempat bertanya bagi puun, jabatan ini dapat dipegang oleh orang baduy luar. Dalam hal ini, biasanya ia merupakan keturunan dari tangkesan sebelumnya. Ada beberapa sebutan dukun pada masyarakat baduy, yakni paraji (dukun beranak), panghulu (dukun khusus mengurus orang yang meninggal), bengkong julu (dukun sunat untuk pria) dan bengkong bikang (dukun sunat untuk wanita).


9. BAHASA


Orang Baduy dalam tidak mengenal budaya tulis,  adat istiadat, kepercayaan/agama dan cerita nenek moyang hanya didapatkan melalui bahasa lisan saja. Untuk berkomunikasi dengan masyarakat luar, orang baduy dalam dapat mengkomunikasikannya dengan bahasa Indonesia. Walaupun bahasa Indonesia yang digunakan sedikit terbata-bata dalam pengucapannya. Hal ini dikarenakan orang baduy dalam tidak diperkenankan sekolah karena aturan adat yang melarangnya. Sedangkan dalam berkomunikasi dengan sesama Orang Baduy, mereka sering menggunakan bahasa Sunda. Namun dalam pengucapannya bahasa sunda yang dipergunakan adalah bahasa Sunda Banten.



Tips dan Saran :
1.  Apabila memang tidak ingin repot sepanjang perjalanan, berikan saja semua bawaan kalian kepada porter ( Orang Baduy), mereka dengan senang hati akan menerimanya dan mereka akan menemani dan mendampingi kita selama dalam perjalanan.
2.  Berikan upah sepantasnya kepada Jasa Porter yang anda pakai selama pulang dan pergi, karena mereka tidak akan meminta harga dan tidak ada tawar menawar disini.
3.  Bawalah bekal secukupnya selama dalam perjalanan, seperti air minum, cemilan dan makan siang karena disepanjang perjalanan tidak ada yang berjualan.
4.  Bagilah bekal anda kepada Porter yang ada sewa dan beberapa lainnya, karena mereka juga jarang-jarang makan makanan yang kita bawa.
5. Sebelum berangkat menuju Baduy Dalam ada baiknya secara berkelompok belanja seperti beras, mie instan, sarden, kornet, dll menurut selera kita, nantinya bahan-bahan tersebut kita serahkan kepada tuan rumah untuk dimasak dan dimakan secara bersama –sama dimana kita akan bermalam. Di Kampung Ciboleger Baduy Luar tempat kita bermalam sebelum menuju perjalanan ke Baduy Dalam  ada beberapa toko yang menjual bahan makanan.
6.     Tidak membuang sampah sepanjang perjalanan.
                            
Dengan berkunjung ke Pedalaman Suku Baduy kita akan belajar banyak hal tentang kehidupan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya, betapa besarnya mereka menghargai alam lingkungan beserta isinya. Khususnya Suku Baduy Dalam yang hidupnya sangat bersahaja dalam menjalani hidup, mereka hidup dalam kesederhanaan dan tetap bertahan dalam situasi dan kondisi  yang menurut kita  serba terbatas.



Ada sebuah filosofi yang baru saya tahu kenapa tidak ada tanaman singkong tumbuh disana, hal ini di sebabkan karena bahan makanan pokok mereka adalah nasi, maka tanaman yang tumbuh di sana tingginya tidak boleh melebihi bahan makanan yang pokok, begitu pula dengan cara memasaknya, beras sebagai bahan makanan utama tidak boleh dimasak dengan bahan makanan apapun, misalnya kita menanak nasi lalu diatasnya ditumpangi singkong, ini tidak boleh dilakukan, kalau itu dilanggar maka yang terjadi adalah hasil tanaman padi mereka tidak akan bisa di panen.





Teman-teman saya seperjalanan ke Pedalaman Suku Baduy :

1. Toosy Muhammad (Fotografer)                   21. M. Arief Wibowo (Arsitek)
2. Agung Horsono Primo (Fotografer)             22. Ira Lathief (Penulis
3. Daan Andraan                                             23. Ervita Widyastuti
4. Yuli Fitriani                                                 24. Echi
5. Rurisa Candra Amartawati                          25. Ochal                                       
6. Dennise Devito (Wartawan Tempo)              26. Dui
7. Marita                                                         27. Aby
8. Denok                                                         28. Yusra
9. Duta Costan                                                29. Kuro
10. Agnes                                                       30. Madun
11. Yusef Rizal                                                31. Andre
12. Mahendra Agung                                       32. Dinda Eka Putri
13. Wibowo Wibisono                                     33. Budi Yasri
14. Mohamad D                                               34. Dian Savitri
15. Rina Anggraeni                                         35. Ade Subrata (Wartawan Tempo)
16. Riza Pranita                                              36. Nana
17. Ratna (Guru)                                             37. Vita
18. Hendri (Guru)                                            38. Widie (Guru)
19. Sari (Guru)                                                39. Desi (Guru)
20. Vidi 










Panitia :
Zainal, Cakung, Ipan, Anik, Ucok, Basri, Camat, Budhi, Atink, dan Freddy